Awal Kisah Seorang Guru yang Berdedikasi
Setiap hari, Sarlotan (24) menyambut pagi dengan semangat karena ia akan mengajar di sekolah dasar dengan pemandangan terindah di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Memang pemandangan seperti ini baru bisa terlihat setelah melewati jalan terjal dan menanjak. Tugasnya pun bukan hanya mengajar, melainkan merawat murid-muridnya. Tak jarang Sarlotan harus menjemput muridnya dari kebun agar tidak bolos sekolah. Perannya saat ini tidak mudah namun Sarlotan berkomitmen agar setiap anak bisa mendapat akses pendidikan terbaik.
“Karena semangat, kerja sama, dan dedikasi yang tulus kami yakin dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk murid-murid. Walaupun selain mengajar kami juga bantu gunting rambut dan kuku bahkan sampai memandikan mereka di sekolah. Supaya anak selalu belajar dalam kondisi bersih. Orang tua mereka kerja di kebun jadi tidak bisa siapkan anak dengan baik sebelum sekolah,” tutur perempuan muda yang berasal dari salah satu desa dampingan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Palu ini.
Waktu kecil Sarlotan tidak pernah bercita-cita jadi guru yang ditempatkan di salah satu SD terjauh di daerahnya. Jangankan memimpikan cita-cita, bertemu dengan orang lain saja ia sangat takut. Sarlotan juga kerap merasa takut salah, takut mencoba. Belum lagi, ia dididik dengan cukup keras oleh orang tuanya. Ia sempat merasakan pengasuhan yang diwarnai kekerasan verbal dan fisik. Hal ini membuat Sarlotan semakin rendah diri. Akibatnya, ia kehilangan kesempatan untuk bersuara, berpartisipasi, dan berkembang semaksimal mungkin.
Tapi kini, Sarlotan telah jadi sosok berbeda bahkan melakukan pekerjaan yang mulia. Perubahan mulai terjadi ketika ia menjadi anak sponsor WVI. “Kehadiran WVI di wilayah kami seakan memberi harapan baru, bahwa saya bisa berani seperti anak lainnya. Keluarga saya juga mulai mendidik dengan lebih positif. Saat itu kedua orang tua saya terlibat dalam kegiatan WVI sebagai relawan sosial dan aktif di Gereja,” ujarnya. Sarlotan menjadi anak sponsor WVI sejak usia 9 hingga 18 tahun.
Sejak WVI mendampingi desanya, beragam kegiatan anak dilaksanakan. Mulai dari kegiatan rutin sederhana seperti kelompok belajar dan bermain hingga yang lebih besar dan terorganisir seperti perayaan Hari Anak Nasional dan Forum Anak. Warga desa jadi sadar kalau anak-anak perlu diperhatikan, didengar, dan dihargai. Sedangkan anak-anak sendiri juga sadar kalau mereka bisa bersuara dan berpartisipasi. Hal ini membuat Sarlotan bisa bertransformasi dari seorang anak penakut menjadi pemimpin, untuk dirinya sendiri dan anak-anak lain.
“Saya seperti pribadi yang berbeda. Ibarat kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Menurut saya, metafora ini menggambarkan proses transformasi yang signifikan, dari suatu kondisi atau bentuk awal menjadi akhir yang jauh lebih baik, indah, dan matang,” ungkap pemegang gelar Sarjana Strata Satu Pendidikan Bahasa Inggris ini.
Ketika masih menjadi anak sponsor WVI, Sarlotan berhasil menjadi ketua Forum Anak. Setelah dewasa, ia berhasil menjalankan peran sebagai guru yang berdedikasi. Berbagai tantangan, baik yang datang dari diri sendiri maupun lingkungan sekitar, ia coba atasi. Bersama orang tuanya, lingkungan sekitarnya, dan WVI, Sarlotan menyusun mimpi yang tadinya ia tidak miliki.
Sekarang, ia tidak lupa untuk kembali melayani anak dan masyarakat desa sebagai relawan sosial. Sarlotan berperan sebagai fasilitator kelompok pendukung orang tua yang mengupayakan pengasuhan tanpa kekerasan di desanya.
Baginya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk memperpanjang rantai transformasi. Perubahan yang ia rasakan dulu ketika masih anak-anak, ia transfer kembali ke anak-anak lain. Sarlotan berharap, makin banyak anak dan orang dewasa di sekitarnya yang mengalami perubahan dan hidup lebih baik di masa depan.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)
Kontributor: Henny Sitto (Sponsorship Officer kantor operasional WVI di Sulawesi Tengah)