Desiani Berani Bermimpi Lebih Tinggi Lagi

Desiani Berani Bermimpi Lebih Tinggi Lagi

Kemiskinan bukan hanya soal ekonomi. Sisi terjahatnya adalah bagaimana kemiskinan terus merampas keberanian seseorang untuk berharap akan hidup yang lebih layak. Kemiskinan mengukir rasa malu, tidak berdaya, dan tidak mampu dalam hati seseorang. Bila seseorang ini adalah anak, maka kemiskinan dapat mematahkan harapan satu generasi. 

Pengentasan kemiskinan seharusnya selalu menjadi prioritas utama bagi pemangku kepentingan. Dampak kemiskinan sangat luas dan dalam. Sedangkan upaya pengentasannya seringkali hanya mengobati apa yang ada di permukaan. Bagaimana gambar diri seorang anak dapat berubah dari miskin jadi berdaya seringkali terabaikan atau dirasa sulit tertanggulangi. 

Karena itu, upaya ini tidak bisa hanya mengandalkan pihak luar yang bersedia mengulurkan bantuan atau fasilitas. Tapi utamanya, harus dimulai dari anak dan komunitas itu sendiri. Dalam pengentasan kemiskinan, aktor utamanya bukan donor, filantropis, korporasi atau pemerintah, melainkan seluruh anggota masyarakat tersebut. Pihak eksternal hanya menjadi pemeran pendukung yang berkomitmen untuk selalu hadir manakala anak dan masyarakat menemui hambatan. 

Kemiskinan tidak dapat diatasi secara karitatif saja karena terbukti tidak menjamin anggota masyarakat tidak terjerat kemiskinan lagi. Sebaliknya, pengembangan masyarakat yang transformatif dapat menjadi pijakan awal dalam pengentasan kemiskinan. Anak dan masyarakat membutuhkan pendampingan, selain bantuan. Memang prosesnya makan waktu dan tenaga, tapi ketika anak/orang dewasa berubah jadi berdaya maka dampaknya akan terus ada, bahkan berlipat ganda. 

Desiani, mahasiswi salah satu politeknis kesehatan di Kupang, Nusa Teggara Timur, saat ini menjadi contoh nyata bagaimana ia bisa keluar dari kemiskinan dengan cara mengubah gambar dirinya. “Sebenarnya, ada bakat dalam diri kita tapi kita tidak berani melakukan dan mengungkapkan, karena tidak terbiasa untuk melakukan itu. Kita jarang merasa bisa. Padahal walaupun kita tidak tahu, tidak apa-apa tetap maju. Sebenarnya, kita bisa bermimpi lebih tinggi tanpa rasa takut,” tuturnya. 

Perempuan muda ini lahir besar di Kabupaten Sumba Timur. Kedua orang tuanya bekerja sebagai petani yang tidak berpenghasilan tetap. Biaya pendidikannya bergantung pada seberapa banyak panen sirih, pinang, atau ternak babi milik kedua orang tuanya laku terjual. Desiani bercerita, “Lingkungan kami sangat terbatas. Tidak ada sumber air bersih, tidak ada listrik, tidak ada jaringan (internet). Kami harus gali mata air di dekat sungai supaya kami bisa timba air di situ. Saya harus jalan kaki ke sekolah. Jauh, sekitar lima kilometer,”. 

Bila terjebak dalam kacamata ekonomi, solusi untuk Desiani keluar dari kemiskinan adalah dengan penyediaan air, listrik, dan internet, atau pemberian bantuan tunai pada orang tuanya. Sesudah bantuan diberikan, satu-satunya yang berubah adalah ada monumen baru di desa yaitu, saluran air bersih, tiang listrik, dan pemancar jaringan internet. Bantuan tunai orang tua Desiani juga belum tentu mengalir ke kebutuhan yang tepat. Kacamata ekonomi ini perlu dilengkapi lensa pengembangan masyarakat supaya tidak hanya mengatasi apa yang kelihatan. Dengan lensa ini, jalan keluar dari kemiskinan berawal dari pendampingan dan penyadaran bahwa tinggal di lingkungan miskin bukan berarti tanpa potensi. 

Keterbatasan yang Desiani sebutkan masih ditambah lagi dengan tidak adanya kesadaran dan wawasan orang tua akan hak anak. “Waktu kecil, orang tua anak-anak di sekitar saya melarang anaknya ikut kegiatan di sekolah atau Gereja. Alasannya, tidak ada yang antar kuda di gunung, tidak ada yang potong rumput untuk pakan ternak, tidak ada yang bantu masak. Kalau orang tua lihat anaknya bermain, pasti orang tuanya pukul. Harus pergi kerja, pergi timba air, tidak boleh bermain,” ungkap Desiani. 

Karena ketidaktahuan akan hak anak, orang dewasa secara tidak sadar membangun lingkungan yang makin menciutkan mimpi anak-anak untuk jadi sosok yang berdaya. Cita-cita jadi terasa jauh karena untuk bermain saja mereka tidak bisa. Untuk berbicara dengan orang tuanya saja mereka tidak didengar. “Kenapa rasa malu itu ada di lingkungan kami? Karena anak-anak tidak boleh berbicara kalau ada orang tua yang bicara. Anak-anak harus di belakang, tidak boleh bergabung. Tidak boleh utarakan pendapatnya. Jadi anak-anak merasa buat apa kami omong, toh tidak dihargai,” imbuhnya. 

Sekarang, dengan percaya diri dan mantap, Desiani dapat menceritakan bagaimana masa kecilnya. Dulu, ia jugalah si anak pemalu dari desa itu. Perubahannya tidak terjadi tiba-tiba dan dengan sendirinya, tapi disertai kehadiran Wahana Visi Indonesia (WVI), pendampingan dari staf saat itu, dan dukungan hadiah-hadiah kecil dari sponsornya. Sejak kelas 2 SD hingga remaja, Desiani adalah anak sponsor WVI. Desanya didampingi selama lebih dari satu dekade. 

Gambar diri Desiani berubah seiring dengan lingkungannya. Orang tua yang tadinya tidak paham bagaimana seharusnya seorang anak hidup, jadi paham. Anak-anak yang tadinya takut dan malu, mulai ingin aktif berpartisipasi dan percaya diri. WVI hadir untuk memperkenalkan bahwa anak-anak dapat diakui, didengar, dan dihargai dengan kegiatan-kegiatan sederhana. “Waktu itu kami ada banyak kegiatan seperti acara pidato, perayaan Hari Anak Nasional, pelatihan jadi pemimpin, dan lomba-lomba. Hadiah dari lomba atau kegiatan itu dapat sabun atau sikat gigi. Itu juga sudah sangat membantu karena di kampung jarang ada yang jual, atau tidak ada uang untuk beli begitu. Mana mau pilih, uang pakai untuk makan atau sikat gigi?,” ujarnya. 

Tujuan besar dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut adalah memberikan sorotan sebanyak-banyaknya pada anak-anak. Anak-anak diajak untuk menyadari kalau potensi itu selalu ada dalam diri mereka, mencari tahu potensi masing-masing, lalu menyusun rencana untuk mengembangkannya. Orang dewasa di desa melihat bagaimana WVI merayakan keberadaan anak-anak sehingga gambar diri sebagai manusia yang tidak berdaya dan miskin itu terkikis. Anak-anak menjadi pengingat bagi orang tua bahwa harapan itu selama ini ada dan dapat terwujud. 

“Saya punya cita-cita jadi perawat itu sejak SD. Sempat tidak mau lanjut kuliah karena lihat ekonomi orang tua. Tapi dapat inspirasi dari kakak-kakak WVI, saya harus kuliah. Wujudkan impian saya jadi perawat. Sekarang saya jadi anak pertama yang kuliah di keluarga. Adik-adik saya harus kuliah juga. Saya ingat, kakak-kakak WVI selalu dorong untuk terus maju sampai saya tidak lagi takut untuk bermimpi,” kata Desiani. 

Saat ini, ketika Desiani berhasil menjadi mahasiswi, melampaui segala hambatan, bagi orang tuanya, ia adalah anak yang membanggakan. Anak perempuan mereka yang pemalu, tumbuh dalam lingkungan yang serba tidak mendukung, sekarang telah jadi perempuan muda yang berdaya dan berani bermimpi. Bagi WVI, Desiani adalah sosok hebat yang transformasinya menjadi pemutus rantai kemiskinan, inspirasi bagi anak-anak lain di desanya. 

“Bagi saya, WVI adalah organisasi yang bisa membuat anak Sumba bermimpi lebih tinggi, tidak ada rasa takut,” ungkapnya. Ia membuktikan keberaniannya untuk terus bermimpi dengan sederet rencana masa depan. Ia ingin menamatkan pendidikan dan menjadi perawat yang sabar, melayani orang lain seperti pada orang tua sendiri. Selain itu, ia juga ingin membiayai pendidikan adik-adiknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Tujuannya bukan lagi soal menggapai sebuah target pencapaian, tapi menjadi figur yang berbeda yaitu, perempuan yang berdaya. 

“Supaya saya dan adik-adik bisa jadi perempuan dewasa yang mandiri. Kalau sudah berumah tangga, punya penghasilan sendiri. Di Sumba itu, kebanyakan laki-laki yang cari nafkah, istrinya di rumah dan dipandang sebagai beban. Jadi kalau saya dan adik-adik tamat kuliah, ada penghasilan sendiri, bisa bantu di rumah tangga masing-masing,” pungkasnya. 

 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait