Figur Ayah di Rumah dan Bapak di Kantor

Bekerja di Wahana Visi Indonesia bukan hanya soal memberi dampak pada anak dan masyarakat, tetapi juga pada keluarga – dalam arti yang sebenarnya, dan pada sesama staf yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Dampak dapat terjadi bila berakar pada nilai-nilai WVI yang dihidupi setiap hari, apapun perannya, di kantor atau di rumah. Oleh karena itu, penting bagi WVI menemukan pekerja kemanusiaan yang siap menularkan nilai-nilai ini pada banyak orang.
Agar transfer nilai ini berjalan mulus, apa yang dibagikan kepada anak dan masyarakat yang didampingi harus menjadi praktik dalam hidup sehari-hari. Menjadi pekerja kemanusiaan di WVI berarti siap menjadi agen perubahan di keluarga, serta contoh di tengah komunitas. Hal ini dapat terjadi bila nilai-nilai organisasi sejalan dengan nilai pribadi. Keselarasan antara nilai pribadi dengan organisasi juga menjamin implementasi program pengembangan masyarakat lebih berkualitas, sekaligus menjaga motivasi dan komitmen staf.
Penyatuan nilai ini dijalani dan dialami oleh Portunatas, seorang staf yang telah bekerja hampir selama 25 tahun di WVI. Nilai hidupnya selaras dan bahkan bertumbuh bersama WVI. Bagi Portunatas, WVI sudah jadi rumah dan Gereja. Sebagai sebuah rumah, artinya menjadi tempat bagi anggotanya saling dukung, bertegur, mendoakan, melayani, dan sama-sama bertumbuh. Sedangkan, sebagai sebuah Gereja, artinya WVI menjadi wujud nyata pelayanan yang penuh kasih.
“Budaya dan kebiasaan di rumah akan menunjukkan seperti apa anggota rumah dilihat oleh orang luar. Kesatuan hati dalam rumah akan membuat anggotanya menunjukkan identitas di luaran sana dengan kekhasannya. Di rumah dan Gereja juga ada aturan, tetapi yang utama adalah nilai dan relasi yang harus dibina,” ungkapnya.
Saat ini, Portunatas berperan sebagai Zonal Programme Manager untuk seluruh kantor operasional WVI di area Nusa Tenggara Timur. Ia memulai kariernya di WVI sebagai seorang koordinator program di kantor operasional Banggai, Sulawesi Tengah pada tahun 2001. Perjalanan panjang bersama WVI telah mengantarnya menjadi figur pemimpin yang menerapkan dan memperkaya nilai organisasi.
Pemimpin Keluarga yang Peduli dan Penuh Kasih
Sebagai organisasi yang fokus pada anak, WVI giat menggaungkan pentingnya pemenuhan hak anak. Salah satunya adalah perlindungan melalui pengasuhan yang positif. Akvitis terbaik untuk isu ini adalah para staf yang telah menjadi orang tua seperti Portunatas. Sebelum menjadi seorang ayah, di desa-desa dampingan, Portunatas adalah pekerja kemanusiaan yang menyampaikan materi-materi tentang hak anak pada masyarakat. Ketika peran sebagai ayah lahir, wawasan yang ia transfer pada masyarakat itu diterapkan dalam keluarganya.
Ayah dari tiga orang anak ini merasa bahwa transformasi paling berkesan yang ia alami selama di WVI adalah: Revolusi relasi dalam keluarga. “Terutama dalam mendidik dan berdialog dengan anak-anak saya. Cara didik orang tua saya dulu, penuh disiplin yang “memaksa”, berubah jadi disiplin yang didialogkan dengan anak, disepakati bersama. Dulu berpikir akan meniru cara Bapak yang sangat tegas dan semuanya “harus”. Harus juara kelas, harus siapkan makanan ternak, harus di meja belajar jam sekian tanpa berani dibantah. Semua itu diubahkan oleh pengenalan akan sistem pendidikan, prinsip komunikasi, hak anak, dan banyak materi lainnya yang didapat di WVI,” ceritanya.
Di mata anak-anaknya, Portunatas adalah ayah tapi rasa sahabat. Saat ini, ketiga anak Portunatas sudah beranjak remaja dan menjadi seorang ayah yang jadi teman dialog sangatlah membahagiakan. Tidak semua anak mengalami relasi yang hangat dan dekat dengan orang tuanya. Tapi karena Portunatas menginternalisasi nilai-nilai organisasi, ia dan istrinya mengasuh dengan cara yang menghargai hak setiap anak.
“Kalau kirim pesan sudah bukan lagi minta uang jajan, tapi saling tanya kabar. ‘Ayah lagi ngapain? Sibuk ga? Mau cerita.’ seperti itu. Anak pertama saya pernah cerita kalau teman-temannya cemburu dengan dia karena bisa punya hubungan yang secair dan sedekat itu dengan seorang ayah. Mereka tidak bisa seperti itu dengan ayahnya,” ungkap sosok yang akrab disapa Pak Portun ini.
Karena menerapkan apa yang WVI ajarkan pada anak dan masyarakat, anak-anak Portunatas pun merasakan pengasuhan yang lebih positif. Di keluarganya, Portunatas tidak lagi mengambil alih semua keputusan dan membuat semua anggota wajib patuh pada aturan, tetapi aturan itu didialogkan. Baginya, aturan itu tetap penting, tapi perlu disepakati dengan istri dan anak-anak. Sehingga setiap anggota keluarga paham apa fungsi dan konsekuensi dari aturan tersebut. “Perlu ada perubahan dari yang tadinya harus, sekarang jadi sebaiknya,” tuturnya.
Portunatas membagikan tiga kiat menjaga kehangatan keluarga yaitu:
-
Berdoa bersama
-
Komunikasi yang disengajakan
-
Bangun kemandirian tiap anggota keluarga.
Pengenalan akan Tuhan dimulai dari keluarga yang berdoa. “Bukan tentang berdoanya saja ya, tapi juga membuat semua anggota keluarga melihat Tuhan itu seperti apa di hidup kita,” ujar laki-laki yang lahir besar di Samosir, Sumatera Utara ini. Sedangkan komunikasi yang dimaksud bukan hanya yang sekedar saja, tetapi yang benar-benar diluangkan waktu dan penuh perhatian. Terakhir, Portunatas tidak memandang istri dan anaknya sebagai obyek melainkan subjek. Setiap anggota keluarga perlu bertumbuh jadi pribadi yang independen. “Supaya saat bersatu jadi makin kuat. Tapi saat sendirian juga tetap bisa ambil keputusan atau solusi terbaik,” imbuhnya.
Pemimpin yang Menyediakan Ruang untuk Setiap Staf
Sosok Portunatas di keluarga sama dengan sosoknya di antara para staf, baik staf yang ia supervisi maupun para atasan. Ia mengakui bahwa beban terberat seorang pemimpin adalah bagaimana memanajemen staf dan menjadi panutan. Namun, bila staf sudah menginternalisasi nilai-nilai organisasi ke dalam hidup pribadi, maka seharusnya tantangan-tantangan seorang pemimpin ini dapat dilalui. Di posisinya saat ini, Portunatas terpanggil untuk memastikan bahwa setiap stafnya dapat mengenal dan mengimani nilai-nilai WVI dalam hidup sehari-hari, dengan cara kepemimpinannya yang unik.
Lebih dari dua dekade berkarier di WVI dan bekerja bersama berbagai jenis orang, lintas generasi dan masa, Portunatas menyimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mengutamakan membangun relasi dan memahami rekan sekerja. “Mengenal secara personal itu sangat penting di organisasi ini. Supaya kita tahu, staf itu butuh apa, ingin apa. Generasi apapun sebenarnya sama. Saya harus bisa memposisikan diri, artinya berempati ketika ada staf muda, sesuaikan gaya komunikasi. Semua staf harus beda, tidak mungkin sama,” tuturnya.
Portunatas memilih untuk menjadi pemimpin yang bersedia mengkustomisasi diri agar lebih terhubung dengan rekan kerja lainnya. Menurutnya, pendekatan personal ini juga sesuai dengan nilai WVI untuk terus memberikan ruang selebar mungkin untuk pengembangan kapasitas staf. “Orang itu bisa mengembangkan semua potensinya dengan cara apa? Salah satunya dengan pemimpin yang mengenalnya, menyediakan pendekatan khusus untuknya,”. WVI telah memiliki koridor peraturan yang jelas, sehingga apa yang menjadi tanggung jawab seseorang sudah jelas. Fungsi pemimpin adalah mencari cara agar tanggung jawab setiap staf dapat dilakukan dengan baik, dan dapat menjadi peluang untuk staf terus berkembang.
“Buat dia ada di hatimu. Kalau tidak, hanya akan memerintah seperti mesin, bukan sebagai tim dan tidak menghargainya sebagai seorang individu. Kenalilah tim dengan baik, satu per satu. Penegakkan peraturannya sama, tapi pendekatannya sangat personal,” saran Portunatas.
Menjadi pemimpin seperti yang Portunatas deskripsikan tentu saja membutuhkan dukungan yang besar. Karena, menjadi pemimpin seperti ini rawan mengalami kekosongan. Ibaratnya, air dalam gelas Portunatas harus selalu tersedia agar bisa terus mengisi gelas-gelas lain. Untuk menjaga ketersediaan air ini, Portunatas selalu melakukan ketiga hal ini:
-
Menjadikan Tuhan sebagai teman yang paling enak untuk diajak berdiskusi
-
Mencari konselor di luar lingkungan kantor
-
Membangun komunikasi yang positif dengan atasan.
Di luar ketiga hal di atas, Portunatas juga menekankan bahwa hidup sebagai pekerja kemanusiaan harus konsisten. Jangan di kantor begini, tapi di luar kantor begitu. Keduanya harus sama. Mengelola staf di bidang kemanusiaan juga tidak ada yang pasti. “Tidak ada itu ‘jika a maka b’. Semua kontekstual dan punya warnanya sendiri,” ujarnya.
Portunatas adalah figur staf yang berhasil berperan sebagai ayah di rumah, dan bapak di kantor, serta berhasil menyelaraskan nilai pribadi dengan organisasi. Dari kiprahnya, ada banyak hal yang ia dan WVI sama-sama pelajari. Menurutnya, Wahana Visi Indonesia adalah pemantik perubahan-perubahan besar dalam hidupnya, sebaliknya Portunatas juga memberikan arti tersendiri bagi WVI. Ia berharap, para anak muda yang sedang mencari pekerjaan saat ini dapat menemukan sebuah tempat yang selaras dengan nilai pribadi, bahkan memperkaya nilai-nilai tersebut, lalu bertumbuhlah menjadi pemimpin yang memberi ruang untuk setiap anggota tim.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)