Pekerja Kemanusiaan yang Menolak Mati Rasa: Rahasia Isti untuk Dampak yang Bermakna

Pekerja Kemanusiaan yang Menolak Mati Rasa: Rahasia Isti untuk Dampak yang Bermakna

Kepekaan yang terus terasah adalah hal penting bagi pekerja kemanusiaan. Deretan tanggung jawab, tumpukan target program, dan rentetan administrasi seringkali lebih menyita perhatian. Sedangkan subjek dari kerja kemanusiaan itu sendiri yakni, anak dan masyarakat rentan, malah dinomorduakan. Bila terus seperti itu, pekerja kemanusiaan akan mati rasa. Kepekaan untuk konsisten mendampingi dan mengupayakan dampak akan hilang. 

Isti (32), sebagai Head of Social Impact and Sustainability Wahana Visi Indonesia, berusaha menjaga kepekaan tersebut dengan satu kalimat, “If the why is clear, the how is easy,”. Di tahun ke-10 bersama Wahana Visi Indonesia (WVI), Isti masih terus bertanya “kenapa”, “untuk apa”, atau “karena apa”. Satu jawaban yang terus muncul adalah “untuk anak hidup utuh penenuhnya”. Di sinilah Isti mempertajam kepekaannya. Ia terus mengingat bahwa program apapun yang dipilih, harus bisa membantu anak dan masyarakat keluar dari kungkungan kemiskinan. 

Dari sekian banyak model program kemanusiaan yang Isti ketahui selama ini, ia sadar bahwa semuanya tidak akan jadi dampak nyata bila mengabaikan pendampingan dan doa. Ketika WVI benar-benar hadir dan tinggal dengan anak dan masyarakat, saling bertukar wawasan dan mendoakan, maka baik WVI maupun masyarakat akan merasakan dampak.   

"Saat kita berada di komunitas tertentu, tidak melulu tentang yang ideal menurut kita. Perlu ada dialog, penyadaran, ada pertukaran visi untuk mencapai keadaan potensial yang lebih baik. Jadi tidak bisa hanya mengikuti pakem dari WVI sebagai pendamping. Perlu ada konteks yang menyeimbangkan. Sehingga, ini jadi aksi bersama yang bisa mempersiapkan anak dan komunitas untuk berjuang melawan penghalang pembebasan mereka. Pembebasan dari stunting, iliterasi, ketergantungan terhadap bantuan, dan lainnya,” ujar perempuan muda ini. 

Lalu, karena pendampingan ini melibatkan manusia dalam waktu lama, maka doa jadi bagian yang penting. Bukan hanya WVI yang mendoakan, tapi juga didoakan. Ada timbal-balik doa antara komunitas dengan pendamping, staf dengan donor/sponsor, proposal dan implementasi, proses dan aktor. “Semuanya penting untuk dibawa dalam doa,” tutur Isti yakin. 

Kepekaan akan isu-isu kemanusiaan juga Isti terapkan ketika ia melakukan kunjungan lapangan. Bagi Isti, kunjungan ke salah satu kampung dampingan WVI di Kabupaten Asmat, Papua Selatan jadi yang paling berkesan. Di situ, ia memgkritisi banyak hal termasuk apakah model program pendidikan yang WVI implementasikan di Asmat itu benar-benar memberi dampak untuk anak. 

"Waktu itu tujuan saya datang ke Asmat adalah berdialog sebanyak-banyaknya dengan masyarakat. Saat berkeliling desa, anak-anak usia PAUD dan SD menemani dan menunjukkan jalan. Malah mereka yang menjaga saya ketika harus melewati jalan yang terbuat dari papan tipis. Mereka berinisiatif mengarahkan papan mana yang harusnya saya lewati. Mereka juga menawarkan pegangan ketika saya kehilangan keseimbangan,” ceritanya. 

Kelincahan anak-anak ini berbanding terbalik ketika mereka berkumpul di Rumah Baca. Mereka sulit mengenali huruf demi huruf, tidak seperti ketika mereka dengan mudah mengenali papan demi papan. Bahkan anak kelas 5 atau 6 SD pun masih ada yang belum bisa membaca atau menulis. Padahal mereka seharusnya sedang mempersiapkan diri untuk memasuki tingkat pendidikan berikutnya. 

"Malam harinya, saya merenung. Jika membandingkan dengan anak seusia mereka yang tinggal di tempat lain, sungguh masih panjang perjalanan perubahannya. Anak-anak di Asmat hidup dan ahli di konteks mereka. Mereka menguasai areanya, arena bermainnya. Sebenarnya, jika mereka hidup di sini terus seperti ini seharusnya tidak masalah bukan? Namun bagaimana jika ada campur tangan dari luar yang ingin menguasai kehidupan atau penghidupan mereka? Apakah alam tempat mereka hidup akan selalu bisa menyediakan? Bagaimana jika ada yang mengambil? Bagaimana jika mereka harus keluar dari area ini untuk belajar lalu nanti kembali lagi ? Apakah sudah cukup bekal yang dimiliki untuk bersaing dengan anak lain yang punya akses dan teknologi?,” ungkap Isti. 

Apa yang ia lihat selama kunjungan di Asmat ini menjadi semangat untuk mengupayakan pendidikan anak yang kontekstual namun tetap kompetitif. Ia mengutip Paulo Freire dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas yang menyatakan bahwa sangat penting memastikan anak bukan hanya menerima pendidikan gaya bank, tapi pendidikan yang hadap masalah (problem-posing education). Arti lainnya, pendidikan yang bisa menjawab masalah di areanya dan bukan hanya sekedar daftar periksa kurikulum. 

“Dan itu pun bisa terjadi jika anak-anak yang adalah masa depan area itu bisa membaca terlebih dulu. Baru setelah itu mereka bisa punya akses ke pengetahuan, punya daya untuk mengetahui realita yang menantang mereka, daya untuk berpikir solutif yang berkelanjutan,” rangkum lulusan Universitas Katolik Parahyangan dan Universitas Indonesia ini. Maka, bagi Isti, tidak salah kalau saat ini WVI terus berjuang untuk meningkatkan literasi dan numerasi anak-anak di Papua. 

Apa yang Isti selami bersama WVI mungkin terlihat tidak praktis. Namun justru hal-hal fundamental inilah yang menjadi motor utama kiprahnya sebagai pekerja kemanusiaan. Isti kembali pada inti kemanusiaan yang sesuai dengan visi WVI: “Visi kami untuk setiap anak hidup utuh sepenuhnya. Doa kami untuk setiap hati, tekad untuk mewujudkannya,”. 

Bagi sesama pekerja kemanusiaan atau yang tertarik dengan dunia kemanusiaan, Isti merupakan sosok yang menggambarkan konsep-konsep besar dalam gerakan kemanusiaan. Ia membuktikan bahwa konsep ini penting untuk dipahami agar kerja kemanusiaan itu terus berpusat pada manusianya. Dari Isti, kita juga dapat belajar bagaimana pentingnya menjaga kepekaan demi dampak yang lebih bermakna. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait