Pertanian Hijau, Memanfaatkan Residual Jagung sebagai Upaya Adaptasi Iklim

Pertanian Hijau, Memanfaatkan Residual Jagung sebagai Upaya Adaptasi Iklim

Kondisi bumi yang terus menerus berubah, membuat orang harus terus berusaha mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan baru melengkapi manusia dengan kemampuan untuk bertahan menghadapi perubahan. Praktik-praktik yang telah lama dilakukan oleh manusia, termasuk di dalam dunia pertanian, mau tidak mau harus ikut berubah.  

Tulisan ini memuat dua cerita dari Kabupaten Poso dan Morowali Utara, tentang petani-petani jagung yang berupaya menjaga kelestarian lingkungan dengan batang dan daun jagung. Natanael di Poso dan Asmar di Morowali Utara mengelola sisa-sisa panen jagung tersebut dengan cara berbeda, sebagai upaya untuk menerapkan pertanian hijau yang lebih ramah lingkungan, atau orang kemudian menyebutnya sebagai climate smart agriculture

 

Natanael, Memanfaatkan Batang dan Daun Jagung Sebagai Mulsa 

Selama ini banyak petani yang melakukan praktik pembakaran sisa-sisa hasil kebun yang tidak dapat dipakai lagi, yang jika dalam pertanian jagung, adalah batang dan daun jagung. Pembakaran batang dan daun, selain mengotori udara karena asapnya, juga merusak partikel tertentu di dalam tanah, sehingga mengganggu kesuburan. Tentu pembakaran batang dan daun ini pun menyumbang emisi gas rumah kaca. 

Di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Wahana Visi Indonesia (WVI) melalui program INCLUSION, memberikan pendampingan pada beberapa petani terkait hal tersebut. Beberapa petani ikut datang ketika cara mengelola batang dan daun jagung menjadi mulsa ini disosialisasikan. Mulsa adalah material yang diletakkan di permukaan tanah di sekitar tanaman, dengan tujuan untuk menjaga kelembaban tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan kesuburan tanah. Natanael adalah salah satu dari sedikit petani yang dengan tekun berupaya memanfaatkan batang dan daun jagungnya menjadi mulsa dengan harapan kesuburan tanahnya akan terjaga. Seusai panen, dia memotong batang dan daun tersebut, kemudian meletakkannya di sela-sela tanah yang nantinya akan ditanami benih lagi.  

“Awalnya tidak terasa bedanya, ya kami cuma bebas dari asap saja. Tapi ketika penanaman jagung yang ketiga, kami baru merasakan. Pohon-pohon jagung kami tumbuh masih bagus dan tidak kerdil, tanpa harus mengolah tanah lagi,” papar Natanael menceritakan keuntungan menggunakan cara ini. 

Pertumbuhan jagung yang masih stabil di penanaman ketiga ini yang kemudian dilirik oleh petani lainnya. Mereka bertanya-tanya, bapak tiga anak ini menggunakan pupuk apa untuk tanahnya. Ketika Natanael menjelaskan bahwa dia tidak memakai pupuk apapun, baru petani lain mulai tertarik.  

Natanael dan para petani lain ini sering berkumpul dan mengobrol di malam hari. Dari sini dia selalu mengajak para petani untuk berbicara soal pertanian. Berbagi ilmu dan pengalaman, demikian istilah yang dipakainya. Dan memang benar, ketika mereka membicarakan siapa bertanam apa, bagaimana hasilnya, mengapa yang satu menghasilkan lebih banyak dibanding yang lain, dan seterusnya, maka pengetahuan berputar. Saat ini sudah ada lebih banyak petani yang menerapkan cara yang dipakai Natanel, karena melihat kondisi kesuburan tanahnya.  

Dengan hasil jagung yang konsisten selama tiga kali panenan, penghasilan Natanael tentu meningkat. “Apalagi dengan benih hibrida berkualitas ini, kalau di tanah saya lebih bagus hasilnya, dibanding jagung lokal. Dia ada yang busuk memang, tetapi lebih banyak yang tahan di cuaca seperti sekarang (banyak curah hujan),” katanya.  

Hasil panen jagung milik Natanael digunakannya untuk kebutuhan rumah tangga. Ketiga anaknya sudah menyelesaikan sekolah hingga SMA semua. Mereka memutuskan untuk tidak mau berkuliah, meskipun orang tuanya sudah menyarankan. “Kami mau bebas saja, jadi petani,” kata anak kedua dan ketiganya. Kebebasan yang dimaksud oleh anak-anak mereka, lebih pada kemerdekaan petani untuk mengatur ritme kerjanya sendiri. Mereka membayangkan kalau harus bekerja pada orang lain, segala hal pasti akan diatur-atur. Sementara si sulung memilih bekerja di bidang otomotif, yang sesuai dengan jurusan yang diambilnya ketika SMK. 

Kami tidak bisa menghalangi, kata Natanael dan istrinya. Di satu sisi malah senang, karena sementara orang lain bingung siapa yang akan melanjutkan mengurus kebun mereka, pasangan suami istri ini justru merasa tenteram karena anak-anak mereka sendiri yang memiliki inisiatif untuk menjadi petani. Kita semua tahu bahwa sebagian besar anak muda, bahkan yang datang dari desa, dengan latar belakang orang tua sebagai petani sekalipun, banyak yang memilih keluar dari desa karena merasa bahwa pekerjaan pertanian tidak menjanjikan, atau pekerjaan yang kotor.  

“Kalau semua pi jadi pegawai, siapa yang tanam sayur?” tanya istri Natanael. Mereka berdua benar, dengan memiliki anak-anak yang bercita-cita menjadi petani, keduanya tidak perlu terburu-buru mengubah seluruh kebun menjadi ditanami tanaman tahunan, karena tidak sanggup mengurus pertanian palawija. Saat ini pasangan ini juga sudah mulai menanam kakao dan tanaman tahunan lainnya, tetapi hanya sebagai selingan.  

Ketika kembali ditanya mengenai harapannya sebagai petani, Natanael mengatakan bahwa dia berharap semakin banyak orang yang menanam dan mengelola kebun serta tanamannya dengan cara yang ramah alam. “Kita gunakan yang alam berikan, kembali untuk alam. Lagipula jagung itu tidak perlu tanah yang terlalu bersih. Justru dengan itu batang dan daun, rumput jadi lebih sulit untuk tumbuh. Dan lagi kalau kita babakar itu batang dan jagung, kita tidak tahu sudah bikin mati apa saja di dalam tanah, karena panas pembakaran.” 

Natanael mengatakan bahwa dia sendiri awalnya juga tidak terlalu percaya dengan manfaat mulsa ini, tetapi setelah membuktikannya sendiri, dia berniat menularkan ke lebih banyak petani, agar mengikuti cara yang sudah dilakukannya. Seluruh tanah di muka bumi ini terhubung, apalagi cuma sama-sama satu kabupaten. Maka satu tanah rusak, akan mempengaruhi kesuburan tanah lain di sekitarnya. Dia tidak ingin hal tersebut terjadi. Menjaga kesuburan tanah dan keseimbangan ekosistem, adalah tanggung jawab manusia, demikian prinsip yang dipegangnya. 

 

Asmar dan Upaya Membuat Pakan Sapi dari Sisa Panen Jagung 

Asmar adalah salah satu petani yang cukup unik. Hampir semua petani lain adalah mereka yang memang mendedikasikan waktu, energi, dan keahliannya di bidang pertanian sejak usia relatif muda. Namun tidak demikian dengan laki-laki satu ini. Dia memutuskan kembali ke desa asal istrinya di Kabupaten Morowali Utara setelah pensiun dari pekerjaan sebagai jurnalis radio dan berkeliling ke seluruh wilayah di Indonesia. Kekayaan ilmunya di bidang pertanian dia dapatkan dari hasil bertemu dan mewawancarai para petani, termasuk yang paling berkesan adalah petani padi di Takalar dan Gowa, Sulawesi Selatan.  

Memulai profesi sebagai petani di usia tak lagi muda bagi Asmar cukup banyak tantangan. Dia mengaku bahwa di tahun 2021 ketika kembali ke desa lagi, memulai bercocok tanam dengan mencoba-coba. “Dulu juga saya anak petani, waktu masih di kampung sendiri, meskipun belum pernah menjadi petani. Lebih dari 25 tahun keluar daerah, keliling Indonesia sebagai jurnalis radio, jadi sudah banyak hal baru, dan harus mencoba-coba semuanya dari awal lagi,” tutur Asmar menjelaskan.  

Perkenalan dengan WVI cukup membantu Asmar memulai profesi barunya sebagai petani. Di awal WVI masuk ke desa, para tim lapangan melakukan wawancara secara terpisah dengan masing-masing pasangan yang mengikuti program. Di sana, setiap orang ditanya mengenai banyak hal, termasuk apa impian di masa depannya, model pertanian seperti apa yang dikerjakan, dan masih banyak lagi. Selesai wawancara awal itu, beberapa petani jagung memutuskan untuk bekerja bersama dan membentuk kelompok bernama Ganduwatu. Gandu berarti jagung, watu bisa dimaknai sebagai batu yang keras, tetapi juga mewakili nama salah satu anak suku Mori, dimana mayoritas masyarakat di desa mereka menetap. Anggota kelompok memilih Asmar sebagai ketua. “Saya sudah bilang saya tidak ada pengalaman sebagai petani, tetapi mereka mengatakan kalau saya justru berpengalaman karena sudah bertemu banyak orang,” demikian Asmar menjelaskan proses hingga dipilihnya dia menjadi ketua.  

Salah satu hal yang menarik ketika mengunjungi rumah Asmar, adalah di samping rumah mereka ada banyak drum-drum berwarna biru. Ketika ditanya, apa isi drum tersebut, Asmar menjelaskan panjang lebar. Di desa ini, selain banyak petani jagung, tidak sedikit diantara warga yang memelihara sapi. “Ada sekitar seribu ekor sapi di desa ini,” kata Asmar. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu fokus tim WVI untuk dapat dikolaborasikan. Sebelumnya, petani jagung membakar begitu saja batang dan daun jagung sisa panen yang sudah tidak terpakai. Ada sebagian yang dijadikan pakan ternak, tetapi karena terlalu banyak, maka lebih banyak yang membusuk sebelum dimakan oleh hewan. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena tanaman busuk tersebut dapat melepaskan metana yang berkontribusi pada perburukan efek rumah kaca.  

Asmar dan petani jagung lain kemudian mendapatkan ilmu baru untuk mengolah batang dan daun jagung tersebut agar menjadi silase, yaitu pakan ternak yang terbuat dari daun dan batang jagung yang sudah difermentasi. Ketika ditanya apa untungnya memberi makan sapi dengan silase ini, Asmar mencoba menjelaskan. “Kalau dulu batang dan daun yang sudah tidak bisa diberikan pada sapi dibakar. Dengan adanya silase ini, kita bisa pakai semua. Batang dan daun ini sifatnya diawetkan. Saya sudah coba cek, rupanya di dalam drum ini dia bisa bertahan sampai delapan bulan,” paparnya.  

Silase ini memang tidak murni diberikan begitu saja ke sapi. Sapi-sapi di desa ini terbiasa memakan daun segar langsung dari pohonnya. Keuntungannya, peternak tidak perlu terlalu memikirkan pakan mereka. Tetapi ketika musim kemarau sedang datang, petani bisa kerepotan karena harus mencari pakan ternak hingga ke lokasi yang cukup jauh, yang masih ada banyak rumput hijaunya. Dengan adanya silase, setidaknya ada cadangan pakan ternak, meskipun memang secara aturan harus tetap dicampur dengan daun segar.  

Bagi Asmar dan kelompok taninya, pengetahuan baru ini sangat membantu. Dengan alat pencacah batang dan daun yang difasilitasi oleh WVI, bersama-sama mereka melakukan upaya pembuatan silase yang ke depannya akan difokuskan sebagai pakan penggemuk ternak. “Memang di awal sapi ini acuh saja dengan silase yang sudah dicampur daun segar yang kita berikan. Mungkin karena belum terbiasa. Tapi setelah kami akali, mereka makan juga sampai habis,” Asmar menjelaskan tantangan yang dihadapinya di awal memberikan silase pada sapi. Awalnya hewan-hewan ternak ini selain dilepas liar di kebun, asupan tambahan mereka selain daun segar hanyalah air garam saja.  

Saat ini tantangan yang masih terus dihadapi oleh Asmar dan para petani jagung lain di kampungnya adalah kondisi cuaca. Desa mereka dua tahun terakhir ini sering kali terendam banjir jika hujan datang cukup intens. Sungai meluap hingga merendam tanaman jagung. Di tahun 2024, berhari-hari banjir tidak surut, sehingga ayah dua anak ini dan beberapa petani lain yang tanahnya berdekatan terpaksa memangkas pohon-pohon jagung yang memang tidak berpotensi untuk berbuah, lalu daunnya dijadikan pakan sapi.  

Di hari lain, ketika kemarau datang tanpa ampun, petani juga mengalami kesulitan membagi antara menyiapkan daun untuk pakan sapi, dan memastikan pohon jagung tumbuh dengan baik hingga berbuah maksimal. Setiap tantangan tersebut dihadapi oleh warga desa ini bersama-sama. Meskipun tidak selalu menemukan solusinya, tetapi mereka terus belajar.  

Untuk Asmar dan kelompok tani Ganduwatu sekarang, yang terpenting adalah mereka memiliki pengetahuan dan harapan baru. Mereka tahu bahwa silase ini telah terbukti di beberapa tempat lain, dapat dijadikan sebagai salah satu pakan penggemuk ternak, utamanya sapi. Mereka berharap suatu saat akan menemukan formula sendiri untuk mendapatkan keuntungan dari silase ini. Selain itu, satu hal yang membuat mereka bersemangat adalah bahwa para petani di desa ini, seperti halnya Natanael dari Kabupaten Poso, sudah berkontribusi mengurangi dampak krisis iklim pada pertanian akibat dari pembakaran batang dan daun jagung. 

 

 

Penulis: Dian Purnomo (Penulis dan peneliti, konsultan untuk buletin proyek INCLUSION di Sulawesi Tengah) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait