Seorang Ibu yang Pulih dan Belajar Mengasuh Lebih Baik Lagi

Seorang Ibu yang Pulih dan Belajar Mengasuh Lebih Baik Lagi

Sama seperti berbagai peran lain, menjadi orang tua juga harus terus belajar, belajar, dan belajar. Karena, ketika seorang anak lahir, di situ juga momen seorang ayah dan ibu lahir. Bukan hanya belajar berbagai ilmu pengasuhan terkini, tapi juga setiap hari belajar untuk menjadi seorang ayah yang lebih hadir dan seorang ibu yang lebih sabar. Belajar memahami bahwa setiap anak berbeda, dan seorang anak juga pasti berubah. Ia tidak terus menjadi anak kecil tapi bertumbuh menuju kedewasaan. 

Menjadi ayah dan ibu juga peran yang membutuhkan keberanian. Pengasuhan positif pada seorang anak dimulai dengan perjalanan seorang ayah dan ibu ke masa mereka masih kecil dan mengakui bahwa ada luka yang perlu diampuni, ada kekecewaan yang perlu dilepaskan. Ayah dan ibu perlu menilai apakah pola asuh yang dulu dialami masih relevan dengan anak yang diasuh saat ini? Bagaimana cara agar tidak mengulang warisan pola asuh yang tidak tepat? Apakah wawasan baru mengenai pola asuh di masa kini cocok dengan anak? Semua itu perlu orang tua pelajari setiap hari. Tidak ada formula yang pasti dalam pengasuhan, tapi ada prinsip mendasar yang tidak dapat dinegosiasi yaitu, dalam pengasuhan, hak dan kewajiban anak dan orang tua harus terpenuhi dengan baik. 

Bagi ayah dan ibu yang tinggal di desa-desa terjauh di Indonesia, warisan pola asuh yang tidak tepat terus bergulir karena sulitnya akses informasi akan pola asuh yang positif. Apa yang orang tua zaman dulu lakukan menjadi kebenaran padahal sebenarnya belum tentu benar dan baik untuk anak di masa berikutnya. Akibatnya, semakin banyak anak yang diasuh dengan pola yang keras dan minim kasih sayang, sehingga ketika anak tersebut menjadi orang tua, mereka mengulang pola yang sama. 

“Bapak mendidik kami, lima kakak-beradik, itu keras, sampai sekarang pun masih. Kasar, selalu memukul dan menghukum kami. Saya sempat merasa kalau didikan seperti inilah yang membuat kami berlima mandiri. Saya kira, ini bisa saya terapkan juga ke anak saya dengan harapan mereka jadi anak yang mandiri,” ujar Tina, mengawali ceritanya. Ia adalah seorang ibu dari dua anak laki-laki usia pra-remaja. 

Dari figur ayah yang demikian, Tina kecil selalu enggan merepotkan orang tua. Cara ini menjadi jalan pintas bagi Tina untuk memperkecil kemungkinan ia berbuat salah di hadapan ayahnya. Ketika anak-anak, Tina terbiasa mencari uang sendiri untuk penuhi biaya hidup sehari-hari. Ketika menjadi seorang ibu, Tina merasa apa yang ayahnya lakukan pada dirinya akhirnya berbuah baik, karena ia menjadi seorang perempuan dewasa yang sudah biasa mandiri, berhasil juga menjabat sebagai Sekretaris Desa. Namun, ketika ia terapkan pola asuh ini kepada kedua anak laki-lakinya, anak-anaknya bukan menjadi mandiri. Anak-anak jadi berjarak dengan dirinya, sama seperti bagaimana Tina kecil menjaga jarak dengan ayahnya dulu. 

“Salah satu anak saya bahkan sempat protes, kenapalah Mamak ini marah terus sama Abang. Sampai ia sebut saya seperti mak lampir karena marah-marah terus. Saat itu saya berpikir, mau bagaimana lagi karena sudah dari awalnya saya didik dia dengan cara yang keras,” tuturnya. Tina lanjut menceritakan, “Kalau saya marah, apapun yang saya pegang, saya pakai untuk pukul anak. Kadang sampai berbekas di badan mereka,”. Tanpa disadari, Tina mengulang apa yang ia alami ketika anak-anak kepada anaknya sekarang. Pola asuh lama yang ia ketahui dan coba ia terapkan malah menimbulkan kekecewaan di hatinya dan terlebih lagi dalam hati anak-anaknya. 

“Saya sadar kalau apa yang saya lakukan ke anak-anak itu salah waktu ikut kegiatan kelompok pendukung orang tua dan belajar tentang pola asuh yang positif. Ada sesi renungan di kegiatan itu yang membuat saya sadar kalau yang saya lakukan itu tidak baik untuk anak saya,” katanya. Menghadiri pertemuan kelompok tersebut secara rutin juga membukakan mata Tina bahwa ibu-ibu di sekitarnya juga sedang dalam kebingungan yang sama. Terjebak dalam satu jenis pola asuh yang sudah turun-temurun dilakukan di lingkungan mereka. Berada dalam satu kelelahan fisik dan emosional yang sama karena tidak mengetahui bagaimana cara membangun keluarga yang harmonis. Mendengar ibu-ibu lain di sekitarnya menceritakan permasalahan dan mencoba mencari solusinya, membuat Tina menyadari banyak hal yang perlu ia perbaiki di tengah keluarga. 

Setelah mengenal pola asuh positif, Tina berusaha untuk menjadi ibu yang lebih baik. “Perlahan saya belajar untuk menahan diri dan tidak melakukan kekerasan seperti dulu lagi,” ungkapnya. Tina juga mulai menelusuri apa yang menjadi pemicu emosinya, dan apa yang menjadi akar masalahnya. Ia menyadari bahwa relasinya yang sempat tidak harmonis dengan suami merupakan salah satu alasan utama mengapa ia begitu mudah melampiaskan kemarahan dan kekerasan terhadap anak-anak. 

“Luka batin pada suami itu belum sembuh sehingga dilimpahkan ke anak-anak. Seiringnya waktu, perlahan saya bisa memaafkan diri saya dan suami. Sekarang saya sadar kalau luka batin tersebut jangan sampai ke anak-anak saya,” ujarnya. 

Menjadi orang tua, baik ayah maupun ibu, merupakan proses pembelajaran seumur hidup. Prosesnya tidak sebentar, kadang berjalan cepat, tapi tak jarang juga sangat lambat. Ada momen yang membuat prosesnya terasa ringan, tapi banyak juga amat berat. Namun, belajar dari sosok Tina, ketika kesadaran untuk berubah itu muncul, ia tidak menyangkalnya. Kumpulan dukungan dari sesama ibu di desanya ia manfaatkan sebaik mungkin. Tina berkomitmen untuk pulih dan berharap, “Saya bisa jadi ibu yang baik untuk anak-anak. Lebih sabar lagi dalam menghadapi anak-anak, lebih dikuatkan. Apapun kesalahan mereka, tidak harus main tangan, tidak bentak-bentak. Saya ingin anak-anak dan suami saya saling menyayangi, saling terbuka, apapun masalahnya,”. 

Tina dan keluarganya tinggal di salah satu desa yang didampingi oleh kantor operasional Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Menanggapi isu perlindungan anak di daerah tersebut, WVI berkolaborasi dengan pemerintah desa dan pemangku kepentingan setempat, melaksanakan kegiatan pelatihan Pengasuhan dengan Cinta yang mempromosikan pengasuhan yang positif dalam keluarga. Hal ini penting agar keluarga menjadi tempat yang paling aman bagi anak, dan bukan sebaliknya. Harapannya, perubahan pola asuh satu keluarga dapat menular ke keluarga lain sehingga nantinya membangun budaya pengasuhan baru yang berkontribusi pada penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Melawi. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait