Tak Semua Anak Punya Ruang yang Sama untuk Belajar Membaca

Raykoer (9 tahun), masih sulit membaca dan menulis. Saat teman-teman seusianya sudah duduk di kelas tiga atau empat SD, ia masih tertahan di kelas satu. Sebenarnya Raykoer sudah bisa menyalin tapi setiap kali diminta membaca ia hanya menunduk, menggeleng, dan menjawab pelan, “Saya tidak bisa membaca,”.
Tingkat literasi anak-anak di kampung tempat Raykoer tinggal masih cukup rendah. Banyak anak yang belum menguasai kemampuan dasar baca tulis. Kondisi ini berdampak besar pada proses belajar anak di sekolah.
Alih-alih naik kelas karena pencapaian akademik, sebagian besar anak justru dipromosikan ke tingkat berikutnya semata karena usia. Akibatnya, anak menghadapi kesulitan yang semakin menumpuk di jenjang pendidikan selanjutnya. Di kelas yang lebih tinggi, anak masih belum menguasai keterampilan yang seharusnya jadi fondasi.
Situasi ini mencerminkan betapa mendesaknya upaya peningkatan literasi di salah satu kampung di Kabupaten Biak Numfor ini. Padahal setiap anak berhak memiliki kesempatan belajar yang lebih adil dan bermakna.
Seusai sekolah, Raykoer pulang ke sebuah rumah kecil dan sederhana. Ia sudah tidak memiliki orang tua. Saat ini, Nenek Ketrina yang mengasuh Raykoer bersama sembilan cucunya yang lain. Dengan tubuh yang mulai rapuh, penglihatan yang semakin kabur, serta pendidikan yang hanya sampai SD, Nenek Ketrina tetap berusaha sabar membesarkan cucu-cucunya. Namun, ia sendiri memiliki keterbatasan untuk mengajar Raykoer membaca dan menulis.
Kesempatan belajar Raykoer hanya bergantung pada buku-buku bekas yang ada di rumah. Hingga saat ini, akses buku cerita anak dan kegiatan literasi di luar sekolah masih belum tersedia. Padahal, Raykoer dan anak-anak lain di sekitarnya ingin bisa membaca tanpa batas. “Saya ingin bisa membaca supaya bisa menulis ketika disuruh, tanpa melihat bantuan tulisan,” harapnya.
Penulis: Yubeltin Urbinas (Fasilitator lapangan kantor operasional WVI di Biak)
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)