Para Tokoh Lintas Agama Upayakan Adaptasi Iklim

Di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya, Indonesia berdiri dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Hal ini terlihat dari enam agama yang diakui negara yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Khonghucu hidup berdampingan. Meski berbeda keyakinan, namun para tokoh agama merespons satu panggilan yang sama dalam iman: menjaga bumi agar tetap menjadi rumah yang baik, aman dan ramah kehidupan, tempat anak-anak tumbuh dalam damai dan harapan.
Krisis iklim bukan sekadar isu sains. Isu ini telah menjadi panggilan moral dan spiritual. “Climate change is irreversible. Anak-anak yang lahir di setelah tahun 2020, kemungkinan besar sebelum 2100, mereka akan alami tantangan isu iklim yang sangat berat. Semakin jarang konsumsi ikan dan jagung karena produksinya menurun 35%,” ungkap Ngurah Agung, Climate Change and Adaptation Specialist dari Wahana Visi Indonesia sebagai salah satu narasumber pada kegiatan Community Connect pada tanggal 15 Mei 2025 yang bertajuk Peran Agama dalam Menghadapi Perubahan Iklim.
Dalam kegiatan ini, hadir pula perwakilan dari enam agama resmi Indonesia berkumpul yaitu:
-
Dr. H. Muh. Munif Godal, MA mewakili Majelus Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu
-
Antonius N. Bimo P., OFM mewakili Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).
-
Samanta Surya, M.Sc mewakili Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI).
-
Ni Made Jendri, S.Km, M.Si mewakili Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat.
-
Js. Ponnie Wijaya, S.P mewakili Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN)
-
Pdt. Darwin Darmawan mewakili Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Para tokoh agama ini hadir bukan hanya untuk menyuarakan ajaran iman mereka mengenai climate change atau perubahan iklim, tetapi juga membawa semangat menjaga bumi dan harapan bagi generasi yang akan datang.
Dr. H. Muh. Munif Godal dari Majelis Ulama Indonesia Kota Palu mengingatkan, “Kalau tokoh agama tidak memberikan peran yang positif, yang cepat untuk situasi saat ini, maka akan meninggalkan sesuatu yang miris untuk anak-anak kita. Perubahan iklim perlu diperlambat sementara peran dan tanggung jawab manusia untuk menjaga ekosistem adalah mandat. Sehingga hal ini sangat penting untuk diajarkan atau disebarkan,”.
Sosok pemimpin agama memegang peran kunci yang dapat menyadarkan dan memobilisasi masyarakat untuk mulai melakukan aksi adaptasi iklim. Upaya ini mencakup di tingkat keluarga hingga kebijakan.
Sementara itu, Romo Bimo dari Konferensi Waligereja Indonesia menegaskan, “Bumi ini adalah rumah kita bersama, bukan cuma negara miskin yang harus menjaga tapi juga negara maju. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, kita akan menyaksikan perubahan iklim yang serius. Ini adalah masalah global yang berdampak lintas sektor,”.
Dalam kesempatan ini para tokoh agama juga mengajak semua pihak—mulai dari pemerintah di berbagai tingkat, organisasi kemanusiaan, perusahaan swasta, hingga akademisi—untuk bekerja sama demi menghasilkan langkah nyata yang berdampak positif bagi bumi. Harapannya melalui kolaborasi yang strategis dan terarah, perubahan tidak hanya sampai pada tataran peningkatan wawasan saja tetapi juga dapat terwujud dalam praktik sehari-hari.
Ni Made Jendri, S.Km, M.Si yang menjabat sebagai Sekretaris Bidang Kesehatan dan Sosial Kemanusiaan PHDI Pusat mengungkapkan, “Upaya yang perlu dilakukan untuk isu ini adalah bagaimana masyarakat bisa menganut konsep yang sudah diturunkan oleh leluhur dalam kehidupan sehari-hari. Di Bali, kita mengenal sistem tanam subak yang ternyata melestarikan lingkungan, ini yang perlu terus dilakukan,”. Berdomisili di Bali membuat Jendri menyadari bahwa begitu banyak warisan leluhur yang perlu kembali diimplementasikan.
Jika urgensi isu ini diabaikan, masa depan anak-anak Indonesia terancam. Pendeta Darwin Darmawan menggaungkan istilah “kiamat ekologis” yang terjadi sebelum kiamat yang sebenarnya. “Hal ini pasti terjadi kalau kita tidak melakukan apa-apa. Membangun gaya hidup tidak tamak, tidak konsumtif, dan tidak mementingkan diri sendiri. Persoalan kita bukan di ranah normatif tapi apakah secara pribadi memang ada keinginan atau berubah atau tidak,” tuturnya.
Community Connect menjadi salah satu wadah diskusi dan pertemuan lintas iman untuk mewujudkan mimpi anak Indonesia hidup utuh sepenuhnya. Urgensi perubahan iklim yang sangat besar dampaknya bagi kesejahteraan anak mendorong para tokoh agama untuk bersatu, bergerak bersama, dan saling berbagi praktik terbaik demi masa depan anak bangsa.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)