Satu Bulan Banjir dan Longsor Sumatra: Kerentanan saat Bencana dan Kesiapsiagaan
Belajar dari bencana itu menyakitkan. Apalagi karena sebenarnya ada pilihan untuk belajar sebelum bencana terjadi. Begitu banyak sejarah bencana internasional maupun nasional yang bisa jadi sumber pembelajaran. Gempa bumi dan tsunami Aceh 2004, gempa bumi dan likuifaksi Palu 2018, banjir Jakarta 2002, banjir Sintang, Kalimantan Barat dan siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur pada 2021, serta bencana lain dapat menjadi dasar untuk tidak lagi menunggu bencana datang untuk belajar.
Lonjakan Kerentanan saat Bencana
Bencana menjadi salah satu penyebab anak dan masyarakat rentan menjadi semakin rentan. Sebelum bencana terjadi, anak dan masyarakat yang masuk dalam kelompok rentan sudah tidak memiliki jaring pengaman di hampir semua sektor yang menunjang kehidupan. Ketika bencana melanda, apa yang mereka miliki rusak atau hilang. Sehingga hidup anak dan masyarakat benar-benar hanya bergantung dengan apa yang tersisa.
Menjadi anak dan masyarakat rentan, atau yang paling rentan, juga berarti hanya memiliki sedikit atau tidak ada pilihan sama sekali. Misalnya, tidak bisa memilih pekerjaan yang lebih ramah lingkungan. Atau, tidak bisa memilih lokasi tempat tinggal yang lebih aman dari bencana. Sehari-hari hidup anak dan masyarakat sudah seperti peribahasa “telur di ujung tanduk”. Hanya dengan sedikit guncangan maka berbagai hak anak dan masyarakat tidak bisa terpenuhi. Sementara bencana bukan guncangan kecil.
25-30 November 2025 banjir dan longsor melanda tiga provinsi di Sumatra yakni, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Hingga tulisan ini disusun (27 Desember 2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 1.000 orang meninggal dan lebih dari 450.000 orang mengungsi. Dalam data tersebut, ada anak dan masyarakat rentan yang berubah jadi paling rentan. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan pertama, perempuan di posisi kedua, lalu disusul penyandang disabilitas dan lansia.
Melonjaknya tingkat kerentanan anak dan masyarakat saat bencana membuat dukungan bantuan darurat menjadi sangat penting dan mendesak. Kehidupan para penyintas yang terdampak perlu sangat dijaga agar dapat bertahan di tengah kehilangan dan kerusakan. Penghujung tahun 2025 ini menjadi momen satu bulan tanggap bencana banjir dan longsor Sumatra. Di tengah momen yang biasanya penuh perayaan, anak dan masyarakat di Sumatra perlu terus didukung agar dapat kembali merasakan adanya harapan dan sukacita pasca bencana.
Untuk membantu meringankan beban penyintas, hingga 27 Desember 2025 Wahana Visi Indonesia (WVI) telah mengupayakan:
Distribusi bantuan non pangan
-
300 paket baduta under 2 di 7 posko pengungsian
-
234 paket sekolah di 2 posko pengungsian
-
96 paket Kebersihan keluarga di 1 desa terdampak
Air bersih dan sanitasi
-
34.000 liter air bersih terdistribusi
-
9 tanki air didistribusikan di posko pengungsian dan fasilitas umum
-
310 meter pipa untuk pemulihan akses air bersih
Dukungan psikososial
-
397 anak terlibat di Ruang Ramah Anak
-
20 fasilitator dukungan psikososial dilatih untuk memfasilitasi kegiatan
-
Satu tenda Ruang Ramah Anak di 1 posko pengungsian
Pemenuhan gizi balita
-
5.032 paket makanan bergizi untuk 222 balita di 4 posko pengungsian
Di bulan pertama ini, WVI fokus pada sektor kesehatan balita dan anak. Oleh karena itu aktivasi dapur khusus yang menyediakan makanan bergizi untuk balita menjadi salah satu fokus kami. Selain juga dengan penyediaan akses air bersih. Jangan sampai banjir dan longsor ini menyebabkan terjadinya bencana kurang gizi bagi balita dan anak-anak yang terdampak.
“Karena kami punya tanggung jawab untuk melaksanakan ini (dapur khusus untuk balita). Kami membayangkan perasaan pengungsi yang ada di posko makanya kami mau membantu untuk memasak di sini. Walaupun kami sendiri rumah rusak, semua barang-barang hancur terkena aliran air,” ujar Nella, salah satu tim Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kabupaten Tapanuli Tengah. Nella adalah seorang relawan di dapur yang menyediakan makanan bergizi untuk balita setelah banjir dan longsor terjadi. Ia sendiri juga seorang ibu dan penyintas. Ketika banjir datang ia dan anaknya mengungsi ke gedung sekolah terdekat.
Bantuan, dalam bentuk barang, program maupun tenaga dan waktu para relawan, sangat penting dan mendesak agar anak dan masyarakat dapat segera bangkit dan pulih. Begitu banyak hati yang tulus membantu anak dan masyarakat di Sumatra, namun bencana ini juga sebaiknya menjadi sumber pembelajaran agar anak dan masyarakat bisa lebih berdaya dan siap siaga di masa depan.
Kesiapsiagaan: Wujud Perlindungan dan Pemberdayaan
Bencana menyebabkan kerugian yang jauh lebih besar daripada investasi untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat. Kerugian dihitung bukan hanya dari materi tapi juga kerusakan lingkungan dan kehilangan sumber daya manusia. Biaya untuk bantuan darurat, rehabilitasi, dan pemulihan dari bencana sangat besar. Bencana tanpa kesiapsiagaan juga menyebabkan anak dan masyarakat mengalami guncangan sosial dan kehilangan banyak kesempatan.
“Banjir dan longsor ini seperti mimpi (buruk) karena tidak pernah terjadi. Air sempat surut tapi selang beberapa jam arusnya kencang bawa kayu-kayu besar. Rumah dan sawah rusak. Sekarang kalau hujan sudah takut,” ungkap Mardia, penyintas bencana banjir dan longsor Sumatra yang terjadi pada November 2025. Desanya di Tapanuli Tengah merupakan salah satu area yang paling terdampak di kabupaten tersebut. Kesedihan tidak terbendung ketika ia menceritakan kembali bagaimana banjir dan longsor menyapu desanya.
Bila investasi untuk kesiapsiagaan menjadi prioritas, bukan hanya menghemat biaya tapi juga menjamin anak dan masyarakat lebih terlindungi. Disrupsi sosial dan ekonomi tidak perlu sampai sebesar yang anak dan masyarakat Sumatra alami saat ini.
Membangun kesiapsiagaan perlu berawal di tingkat desa, melibatkan anak dan masyarakat yang paling rentan, dengan pendekatan pengembangan masyarakat jangka panjang. Wahana Visi Indonesia (WVI) menerapkan cara ini untuk mewujudkan Desa Tangguh Bencana. Kesiapsiagaan berbasis masyarakat memantik kesadaran, mendorong perubahan, dan menjamin keselamatan bila bencana terjadi.
Pemerintah, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, tenaga pendidik, kelompok perempuan, karang taruna, atau kelompok lain yang ada di desa, menyusun rencana dan berbagi peran agar bila bencana datang, semakin sedikit kerugian yang dialami. Sistem peringatan dini teraktivasi. Anak-anak, orang dengan disabilitas, dan lansia yang termasuk kelompok rentan dapat lebih terlindungi. Ternak dan hasil panen dipindah ke tempat aman. Titik posko pengungsian sudah tertata. Bantuan darurat seperti dapur umum dan dapur khusus balita dapat segera berfungsi. Semua sudah siap dan siaga agar ketika bencana berlalu, roda kehidupan segera berputar kembali.
Ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang sudah di depan mata juga menjadi alarm untuk semakin memprioritaskan kesiapsiagaan bencana. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan Indonesia tidak lagi aman terhadap siklon tropis. Perubahan iklim yang memengaruhi terjadinya anomali atmosfer menyebabkan Indonesia makin sering dilanda siklon tropis dalam lima tahun terakhir, termasuk siklon tropis Senyar yang memicu banjir dan longsor di Sumatra.
Ancaman yang dapat menjadi alarm lain bagi masyarakat Indonesia adalah megathrust Selat Sunda. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengingatkan potensi ancaman ini bukan lagi soal akan terjadi atau tidak, melainkan kapan terjadinya. Area pesisir selatan Jawa perlu meningkatkan kesiapsiagaan akan ancaman ini.
Indonesia juga perlu meningkatkan kesadaran untuk melestarikan lingkungan. Banjir dan longsor Sumatra menimbulkan banyak pertanyaan dan peringatan mengenai aktivitas eksploitasi lingkungan berlebihan. Kombinasi antara perubahan iklim yang memicu peningkatan frekuensi dan risiko bencana dengan kerusakan lingkungan akan menyebabkan bencana dengan dampak yang masif.
Perpanjangan Masa Tanggap Bencana
WVI melakukan perpanjangan masa tanggap bencana banjir Sumatra dari tiga menjadi enam bulan. Akhir tanggap bencana akan jatuh pada Juni 2026. Tanggap bencana akan menjangkau area Sumatra Utara dan Aceh. Program yang dilakukan akan merambah ke sektor ekonomi dan pendidikan, dengan tetap berfokus pada anak-anak.
Di sisi lain, WVI juga mendorong pentingnya membangun kesiapsiagaan anak dan masyarakat terhadap bencana. Urgensi adanya aksi nyata pengurangan risiko bencana sangat besar. Anak dan masyarakat di Indonesia perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dan berdaya dalam pengelolaan risiko bencana. Hal ini menjadi wujud komitmen kami untuk mewujudkan kesejahteraan anak dan masyarakat Indonesia.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)
Peninjau: Tim tanggap bencana banjir Sumatra WVI